Hukum Perayaan Maulid Nabi: Sunnah atau Bid'ah?
Oleh: Ust. Zen Yusuf Al Choodlry
Maksud dari Maulid Nabi adalah kelahiran nabi Muhammad, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Beliau dilahirkan di tengah keluarga bani Hasyim di Makkah. Mengenai
tanggal kelahirannya, para ahli tarikh berbeda pendapat dalam masalah
ini, dan tidak ada dari mereka yang mengetahui secara pasti. Namun
menurut Shafiyurrahman Mubarakfury dalam kitabnya “Sirah Nabawiyah”, -Juara I lomba penulisan sejarah Nabi yang diadakan oleh Rabithah Al-Alam Al-Islamy- Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dilahirkan pada hari senin pagi, tanggal 9 Rabi’ul Awal, permulaan tahun gajah.
Bertepatan
dengan itu, terjadi beberapa bukti pendukung kerasulan di antaranya
adalah, runtuhnya sepuluh balkon istana Kisra, padamnya api yang biasa
disembah oleh orang-orang Majusi, dan runtuhnya beberapa gereja di
sekitar Buhairah. Hal ini diriwayatkan oleh Baihaqi. Selain itu, Ibnu
Sa’d meriwayatkan bahwa Ibu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata, “Setelah bayiku keluar, aku melihat ada cahaya yang keluar dari kemaluanku, menyinari istana-istana di syam.”
Setelah
Aminah melahirkan, dia mengirim utusan kepada mertuanya, Abdul
Muththalib, untuk menyampaikan berita gembira tentang kelahiran cucunya.
Maka Abdul Muththalib datang dengan perasaan suka cita, lalu membawa
beliau ke dalam Ka’bah, seraya berdo’a kepada Allah dan bersyukur
kepada-Nya. Dia memilihkan nama Muhammad untuk beliau, sebuah nama yang
belum pernah dikenal di kalangan Arab. Kemudian beliau dikhitan pada
hari ke tujuh, seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang Arab.
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dilahirkan pada hari senin pagi, tanggal 9 Rabi’ul Awal, permulaan tahun gajah.
Itulah sekelumit sejarah tentang kelahiran Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
yang kemudian momen penting tersebut diperingati oleh kebanyakan kaum
muslimin sejak berlalunya tiga generasi awal Islam, yaitu generasi
sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
“Janganlah
kamu berlebih-lebihan memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah
berlebih-lebihan memuji (Isa) putera Maryam. Aku hanyalah seorang hamba,
maka sebutlah, ‘Abdullah wa rasuluhu (hamba Allah dan Rasul-Nya)’.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadis yang lain Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ
“Wahai
manusia, jauhilah oleh kamu sekalian sikap berlebihan dalam beragama,
karena sesungguhnya sikap berlebihan dalam beragama itulah yang telah
menghancurkan umat-umat sebelum kamu.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad dan lainnya. Dishahihkan oelh Syaikh al Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah dan al Shahihah: no. 1283)
Dan dari Ibnu Mas’ud radliyallah 'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Binasalah orang yang berlebih-lebihan dalam tindakannya.” (HR Muslim)
Hadits di atas menerangkan larangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada umatnya untuk memujinya secara berlebih-lebihan.
"Janganlah
kamu sekalian memujiku dengan berlebih-lebihan.” Artinya adalah
janganlah kamu sekalian memujiku dengan cara yang bathil, dan janganlah
kalian melampaui batas dalam memujiku. Makna kata ithra’ dalam hadits
(laa tuthruni), adalah melampaui batas dalam memuji.
Janganlah kamu berlebih-lebihan memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji (Isa) putera Maryam.
Aku hanyalah seorang hamba, maka sebutlah, ‘Abdullah wa rasuluhu (hamba Allah dan Rasul-Nya)’.
Kenyataannya,
kebanyakan manusia sangat berlebih-lebihan dalam memuji dan
mengagungkan orang yang menjadi panutan dan junjungannya, sehingga
mereka meyakini bahwa junjungan mereka itu mampu melakukan sesuatu yang
seharusnya hanya hak Allah. Jadi mereka menganggap junjungan mereka itu
memiliki sifat ilahiyah dan rububiyah yang sebenarnya hanya milik Allah.
Hal itu karena perilaku mereka yang berlebih-lebihan dalam memuji dan
menyanjung panutan mereka.
Walaupun Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
sudah melarangnya, tapi kenyataan ini masih terjadi di kalangan
sebagian orang yang mengaku sebagai umatnya. Kita dapati di sebagian
syair yang di anggap sebagai salah satu shalawat, yang berbunyi, “Allahumma
shalli shalatan kamilatan wa sallim salaman tamman ‘ala sayidina
Muhammadin alladzi tanhalu bihil ‘uqadu, watanfariju bihil kurabu, wa
tuqdha bihil hawaiju....” yang artinya, “Ya Allah, limpahkanlah shalawat dan salam yang sempurna kepada junjungan kami Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam yang karenanya ikatan belenggu terurai, dan karenanya malapetaka sirna, dan karenanya kebutuhan-kebutuhan terpenuhi….”
Bukankah itu adalah pujian yang berlebihan, karena menyanjung Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
dengan hal-hal yang sebenarnya hanya kekuasaan Allah saja. Itu adalah
satu contoh tentang keadaan sebagian umat yang melampaui batas dalam
memuji Nabinya.
Ada
masalah lain yang tersisa, yaitu bagaimana dengan acara-acara perayaan
dan beberapa perilaku yang dilakukan oleh kebanyakan orang untuk
memperingati kelahiran Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Apakah hal tersebut termasuk perilaku yang berlebih-lebihan dan
melampaui batas? Atau merupakan sesuatu hal yang baru yang diada-adakan
oleh umat ini?
“Wahai manusia, jauhilah oleh kamu sekalian sikap berlebihan dalam beragama, karena sesungguhnya sikap berlebihan dalam beragama itulah yang telah menghancurkan umat-umat sebelum kamu.” al Hadits
Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih al-Ustaimin
Tentang
hal itu, marilah kita ikuti komentar Syekh Muhammad bin Shaleh
Al-Utsaimin ketika beliau ditanya mengenai hukum merayakan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Beliau berkata, “Pertama, tanggal kelahiran Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak
diketahui secara pasti. Bahkan, sebagian ahli tarikh kontemporer yang
mengadakan penelitian menyatakan bahwa tanggal kelahiran Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
adalah 9 Rabi’ul Awwal, bukan tanggal 12 Rabi’ul Awwal. Tetapi justru
saat ini perayaan maulid dilaksanakan pada malam kedua belas, yang tidak
ada dasarnya dalam tinjauan sejarah.
. . . bahwa tanggal kelahiran Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah 9 Rabi’ul Awwal, bukan tanggal 12 Rabi’ul Awwal.
Kedua, dipandang dari sisi akidah, juga tidak ada dasarnya. Kalaulah itu syariat dari Allah, tentulah dilaksanakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam atau disampaikan pada umat beliau. Dan kalaulah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengerjakannya atau menyampaikan kepada umatnya, mestinya amalan itu terjaga, karena Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Alquran, dan sesunggunya Kami benar-benar akan menjaganya.” (Al-Hijr: 9).
Karena
ternyata tidak ada sedikit pun keterangan tentang hal itu maka dapat
disimpulkan bahwa perbuatan ini bukan dari ajaran Allah. Kalau bukan
dari agama Allah, maka kita tidak boleh menjadikannya sebagai jalan
untuk beribadah kepada Allah atau bertaqarrub dengan merayakannya.
Allah telah menetapkan suatu jalan yang sudah ditentukan untuk bisa sampai kepada-Nya –itulah yang datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam-,
maka bagaimana mungkin kita diperbolehkan membuat jalan sendiri, yang
akan menghantarkan kepada-Nya, padahal kita adalah seorang hamba. Ini
berarti mengambil hak Allah, yaitu membuat syariat yang bukan dari-Nya,
dan kita masukkan ke dalam ajaran Allah. Ini juga merupakan pendustaan
terhadap firman Allah, “Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah kecukupkan nikmat-Ku kepadamu….” (Al-Maidah: 3)
Maka kami katakan, bila perayaan ini termasuk bagian dari kesempurnaan dien, tentunya sudah ada sebelum Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat. Bila tidak ada, berarti hal itu tidak mungkin menjadi bagian dari kesempurnaan dien, karena Allah berfirman, “Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah kucukupkan
nikmat-Ku kepadamu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.” (Al-Maidah: 3)
Barangsiapa
yang menyatakan bahwa perayaan maulid adalah termasuk ajaran agama,
maka ia telah membuat hal yang baru sepeninggal Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Ucapannya mengandung kedustaan terhadap ayat yang mulia tersebut.
Tidak
diragukan lagi bahwa orang yang merayakan maulid Nabi, ingin
mengagungkan beliau, ingin menampakkan kecintaan dan besarnya harapan
untuk mendapatkan kasih sayang beliau dari perayaan yang diadakan, dan
ingin menghidupkan semangat kecintaan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Sebenarnya
semua ini adalah termasuk ibadah. Mencintai Rasul adalah ibadah, bahkan
iman seseorang tidak sempurnya sehingga ia lebih mencintai Rasul dari
pada dirinya, anaknya, orang tuanya, dan semua manusia.
Mengagungkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga termasuk ibadah. Haus akan kasih sayang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
juga merupakan bagian dari dien. Oleh karena itu, seseorang menjadi
cenderung kepada syariat beliau. Jika demikian, tujuan merayakan maulid
nabi adalah untuk bertaqarrub kepada Allah, dan mengagungkan
Rasul-Nya. Ini adalah ibadah. Bila ini ibadah, maka tidak boleh membuat
hal yang baru -yang bukan dari Allah- dan dimasukkan ke dalam agama-Nya
untuk selama-lamanya. Maka dari itu, jelaslah bahwa perayaan maulid Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam adalah sesuatu yang diada-adakan (bidah) dan haram hukumnya.
Selain
itu, kita juga mendengar bahwa dalam perayaan ini terdapat
kemungkaran-kemungkaran besar yang tidak diterima oleh syar’i, perasaan,
ataupun akal. Mereka melantunkan nyanyian-nyanyian untuk maksud-maksud
tertentu yang sangat berlebihan tentang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Sehingga mereka menjadikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lebih agung dari pada Allah. –kita berlindung kepada Allah dari hal tersebut-.
Kita
juga mendengar bahwa sebagian orang yang merayakan maulid Nabi, karena
kebodohan mereka, apabila salah seorang membacakan kisah tentang
kelahiran Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan jika sudah sampai pada lafadz “Nabi dilahirkan”, mereka berdiri dengan serempak. Mereka berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah datang, maka kami pun berdiri untuk mengagungkannya.”
Ini adalah kebodohan. Dan ini bukanlah adab, karena beliau membenci
bila disambut dengan berdiri. Para sahabat adalah orang yang paling
mencintai dan mengagungkan beliau, tetapi mereka tidak berdiri bila
menyambut beliau, karena mereka tahu bahwa beliau membenci hal itu. Saat
beliau masih hidup saja tidak boleh apalagi setelah beliau tidak ada.
. . . karena beliau membenci bila disambut dengan berdiri.
Para sahabat adalah orang yang paling mencintai dan mengagungkan beliau, tetapi mereka tidak berdiri bila menyambut beliau, karena mereka tahu bahwa beliau membenci hal itu.
Dalam
bidah ini –bidah maulid Nabi yang terjadi setelah berlalunya tiga
generasi mulia, yaitu para sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in- terdapat
pula kemungkaran yang dilakukan oleh orang-orang yang merayakannya,
yang bukan dari pokok ajaran dien. Terlebih lagi terjadinya ikhtilath (campur
baur) antara laki-laki dan perempuan. Dan masih banyak
kemungkaran-kemungkaran yang lain. (Majmu’ Fatawa, Syeikh Muhammad bin
Shaleh Al-Utsaimin).
Kiranya apa yang dikatakan oleh Syaikh Utsaimin di atas cukup menjelaskan kepada kita tentang hukum merayakan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Meskipun mengetahui sejarah dan mengenal Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
adalah wajib bagi kita, bangga –karena beliau adalah rahmat bagi
seluruh alam- dan selalu mengenang beliau adalah tugas kita, namun tidak
berarti kemudian kita diperbolehkan untuk memuji dan menyanjungnya
secara berlebih-lebihan. Kita juga tidak boleh mengadakan ritual untuk
mengenangnya dengan melakukan perilaku dan amalan yang tidak pernah
beliau contohkan dan anjurkan.
Walaupun
tujuan merayakannya adalah ibadah, namun karena tidak ada tuntunannya,
maka perbuatan itu sia-sia belaka, dan justru berubah menjadi dosa dan
pelanggaran. Karena ibadah itu harus dibangun di atas dalil syar'i
(Al-Qur'an dan Sunnah).
Walaupun tujuan merayakannya adalah ibadah, namun karena tidak ada tuntunannya, maka perbuatan itu sia-sia belaka, dan justru berubah menjadi dosa dan pelanggaran.
Mengapa memperingati dan mengenang Nabi shallallahu 'alaihi wasallam harus
dilakukan sekali dalam setahun, padahal sebagai muslim harus selalu
mengenang Nabi dan meneladaninya dalam segala aspek kehidupannya. Bahkan
seorang muslim harus menyebut nama Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam lebih dari lima kali dalam sehari semalam, yaitu pada syahadat dalam salat wajib.
Mengagungkan
dan mencintai Nabi adalah sesuatu yang terpuji dan dianjurkan dalam
Islam, tapi dalam pelaksanaannya, harus sesuai dengan apa yang diajarkan
oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Mengagungkan dan mencintai Nabi adalah sesuatu yang terpuji dan dianjurkan dalam Islam,
tapi dalam pelaksanaannya, harus sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
melarang umatnya melakukan sesuatu (ibadah) yang tidak pernah
dicontohkan olehnya dalam segala hal. Lalu bagaiamana mungkin orang yang
mengaku mencintai dan menyanjung Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melakukan sesuatu yang sangat dibenci olehnya?
(PurWD/voa-islam.com)
Hukum Perayaan Maulid Nabi: Sunnah atau Bid'ah?
Reviewed by Abu Aslam
on
7:24 AM
Rating:
No comments