"TENTANG DUDUK TASYHUD"

Apa itu Duduk Tawarruk dan Duduk Iftirosy? Duduk iftirosy adalah duduk dengan menegakkan kaki kanan dan membentangkan kaki kiri kemudian menduduki kaki kiri tersebut. Sedangkan duduk tawarruk adalah duduk dengan menegakkan kaki kanan dan menghamparkan kaki kiri ke depan (di bawah kaki kanan), dan duduknya di atas tanah/ lantai.[1] Sebagaimana yang sering kita lakukan, duduk iftirosy adalah duduk seperti pada tasyahud awwal dan duduk antara dua sujud. Sedangkan duduk tawarruk adalah duduk seperti pada tasyahud akhir pada shalat empat raka’at (seperti pada shalat Zhuhur). Perselisihan Ulama Dalam masalah duduk tasyahud terdapat perselisihan pendapat di kalangan para ulama. Perselisihan tersebut adalah sebagai berikut: Pendapat pertama, yaitu pendapat Imam Malik dan pengikutnya, duduk tasyahud baik awal dan akhir adalah duduk tawarruk. Hal ini sama antara pria dan wanita. Imam Malik membangun pendapatnya berdasarkan hadits yang shahih dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, ﺇﻧﻤﺎ ﺳﻨﺔ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺃﻥ ﺗﻨﺼﺐ ﺭﺟﻠﻚ ﺍﻟﻴﻤﻨﻰ ﻭﺗﺜﻨﻰ ﺍﻟﻴﺴﺮﻯ “Sesungguhnya sunnah ketika shalat (saat duduk) adalah engkau menegakkan kaki kananmu dan menghamparkan (kaki) kirimu. ”[3] Dalil lain yang digunakan adalah hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, ﻋﻠﻤﻨﻰ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ -ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ- ﺍﻟﺘﺸﻬﺪ ﻓﻰ ﻭﺳﻂ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﻓﻰ ﺁﺧﺮﻫﺎ ﻓﻜﻨﺎ ﻧﺤﻔﻆ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺣﻴﻦ ﺃﺧﺒﺮﻧﺎ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ -ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ- ﻋﻠﻤﻪ ﺇﻳﺎﻩ - ﻗﺎﻝ - ﻓﻜﺎﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﺇﺫﺍ ﺟﻠﺲ ﻓﻰ ﻭﺳﻂ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﻓﻰ ﺁﺧﺮﻫﺎ ﻋﻠﻰ ﻭﺭﻛﻪ ﺍﻟﻴﺴﺮﻯ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan tasyahud kepadaku di pertengahan dan di akhir shalat. Kami memperoleh dari Abdullah, ia memberitahukan pada kami bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan padanya. Ia berkata, “Jika beliau duduk di tasyahud awwal dan tasyahud akhir, beliau duduk tawarruk di atas kaki kirinya, lalu beliau membaca: ...”[4] Dalil di atas menyebutkan duduk tawarruk baik di pertengahan shalat maupun di akhir shalat. Pendapat kedua, yaitu pendapat Imam Abu Hanifah dan pengikutnya, duduk tasyahud baik awal dan akhir adalah duduk iftirosy. Imam Abu Hanifah berdalil tentang duduknya iftirosy baik pada tasyahud awwal dan akhir dengan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, ﻭﻛﺎﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﻓﻰ ﻛﻞ ﺭﻛﻌﺘﻴﻦ ﺍﻟﺘﺤﻴﺔ ﻭﻛﺎﻥ ﻳﻔﺮﺵ ﺭﺟﻠﻪ ﺍﻟﻴﺴﺮﻯ ﻭﻳﻨﺼﺐ ﺭﺟﻠﻪ ﺍﻟﻴﻤﻨﻰ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan tahiyyat pada setiap dua raka’at, dan beliau duduk iftirosy dengan menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya .”[5] Juga berdasarkan hadits Wail bin Hujr radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata, ﺭﺃﻳﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺣﻴﻦ ﺟﻠﺲ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺍﻓﺘﺮﺵ ﺭﺟﻠﻪ ﺍﻟﻴﺴﺮﻯ ﻭﻧﺼﺐ ﺭﺟﻠﻪ ﺍﻟﻴﻤﻨﻰ . “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika duduk dalam shalat, beliau duduk iftirosy dengan menghamparkankaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya .”[6] Dalam riwayat Tirmidzi, Wail bin Hujr berkata, ﻗﺪﻣﺖ ﺍﻟﻤﺪﻳﻨﺔ ﻗﻠﺖ ﻷﻧﻈﺮﻥ ﺇﻟﻰ ﺻﻼﺓ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ -ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ- ﻓﻠﻤﺎ ﺟﻠﺲ - ﻳﻌﻨﻰ - ﻟﻠﺘﺸﻬﺪ ﺍﻓﺘﺮﺵ ﺭﺟﻠﻪ ﺍﻟﻴﺴﺮﻯ ﻭﻭﺿﻊ ﻳﺪﻩ ﺍﻟﻴﺴﺮﻯ ﻳﻌﻨﻰ ﻋﻠﻰ ﻓﺨﺬﻩ ﺍﻟﻴﺴﺮﻯ ﻭﻧﺼﺐ ﺭﺟﻠﻪ ﺍﻟﻴﻤﻨﻰ “Aku tiba di Madinah. Aku berkata, “Aku benar-benar pernah melihat shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika beliau duduk yakni duduk tasyahud, beliau duduk iftirosy dengan membentangkan kaki kirinya. Ketika itu, beliau meletakkan tangan kiri di atas paha kiri. Beliau ketika itu menegakkan kaki kanannya. ”[7] Demikian pula diriwayatkan dari Amir bin ‘Abdullah bin Zubair, dari ayahnya (‘Abdullah bin Zubair) , ia berkata, ﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺇﺫﺍ ﺟﻠﺲ ﻓﻲ ﺍﻟﺮﻛﻌﺘﻴﻦ ، ﺍﻓﺘﺮﺵ ﺍﻟﻴﺴﺮﻯ ، ﻭﻧﺼﺐ ﺍﻟﻴﻤﻨﻰ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika duduk pada dua raka’at, beliau duduk iftirosy dengan membentangkan kaki yangkiri, dan menegakkan kaki kanannya .”[8] Riwayat di atas menyebutkan bahwa duduk iftirosy dilakukan di saat duduk ketika shalat, baik di waktu tasyahud maupun duduk yang lainnya, dan baik di raka’at terakhir atau di pertengahan. Pendapat ketiga, yaitu pendapat Imam Asy Syafi’i. Beliau membedakan antara duduk tasyahud awal dan akhir. Untuk duduk tasyahud awal, beliau berpendapat seperti Imam Abu Hanifah, yaitu duduk iftirosy. Sedangkan untuk duduk tasyahud akhir, beliau berpendapat seperti Imam Malik, yaitu duduk tawarruk. Jadi menurut pendapat ini, duduk pada tasyahud akhir yang terdapat salam –baik yang shalatnya sekali atau dua kali tasyahud- adalah duduk tawarruk. Duduk tawarruk terdapat pada setiap raka’at terakhir yang diakhiri salam karena cara duduk demikian terdapat do’a, bisa jadi lebih lama duduknya. Sehingga duduknya pun dengan cara tawarruk karena cara duduk seperti ini lebih ringan dari iftirosy. Cara duduk demikianlah yang kita sering saksikan di kaum muslimin Indonesia di sekitar kita yang banyak mengambil pendapat Imam Syafi’i. Pendapat keempat, pendapat Imam Ahmad bin Hambal dan Ishaq. Jika tasyahudnya dua kali, maka duduknya adalah tawarruk di raka’at terakhir. Namun jika tasyahudnya cuma sekali, maka duduknya di raka’at terakhir adalah duduk iftirosy. Dalil Pendapat Ketiga dan Keempat Pendapat ketiga (Imam Asy Syafi’i) dan pendapat keempat (Imam Ahmad), masing-masing memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah kedua pendapat tersebut menggabungkan seluruh riwayat yang menjelaskan tentang kedua jenis duduk tersebut, yaitu duduk iftirosy dan juga duduk tawarruk. Sehingga semua dalil yang dijadikan alasan oleh ulama Malikiyyah dan ulama Hanafiyyah sama- sama diamalkan oleh Imam Ahmad dan juga Imam Asy Syafi’i. Mereka juga sepakat dalam hal duduk tasyahud awwal, yaitu sama-sama iftirosy. Sedangkan perbedaan kedua pendapat tersebut adalah dalam menyikapi duduk akhir antara shalat yang memiliki satu tasyahud dengan shalat yang memiliki dua tasyahud. Jelaslah bahwa untuk menyebutkan alasan dan dalil dari pendapat Imam Ahmad dan Imam Asy Syafi’i adalah berdasarkan riwayat-riwayat yang shahih yang telah disebutkan pada dua pendapat sebelumnya. Ditambah lagi ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam shahihnya dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Atha’ bahwa beliau pernah duduk bersama beberapa orang dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu kami pun menyebutkan tentang shalatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Abu Humaid As-Sa’idi berkata, ﺃﻧﺎ ﻛﻨﺖ ﺃﺣﻔﻈﻜﻢ ﻟﺼﻼﺓ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﺭﺃﻳﺘﻪ ﺇﺫﺍ ﻛﺒﺮ ﺟﻌﻞ ﻳﺪﻳﻪ ﺣﺬﺍﺀ ﻣﻨﻜﺒﻴﻪ ، ﻭﺇﺫﺍ ﺭﻛﻊ ﺃﻣﻜﻦ ﻳﺪﻳﻪ ﻣﻦ ﺭﻛﺒﺘﻴﻪ ، ﺛﻢ ﻫﺼﺮ ﻇﻬﺮﻩ ، ﻓﺈﺫﺍ ﺭﻓﻊ ﺭﺃﺳﻪ ﺍﺳﺘﻮﻯ ﺣﺘﻰ ﻳﻌﻮﺩ ﻛﻞ ﻓﻘﺎﺭ ﻣﻜﺎﻧﻪ ، ﻓﺈﺫﺍ ﺳﺠﺪ ﻭﺿﻊ ﻳﺪﻳﻪ ﻏﻴﺮ ﻣﻔﺘﺮﺵ ﻭﻻ ﻗﺎﺑﻀﻬﻤﺎ ، ﻭﺍﺳﺘﻘﺒﻞ ﺑﺄﻃﺮﺍﻑ ﺃﺻﺎﺑﻊ ﺭﺟﻠﻴﻪ ﺍﻟﻘﺒﻠﺔ ، ﻓﺈﺫﺍ ﺟﻠﺲ ﻓﻰ ﺍﻟﺮﻛﻌﺘﻴﻦ ﺟﻠﺲ ﻋﻠﻰ ﺭﺟﻠﻪ ﺍﻟﻴﺴﺮﻯ ﻭﻧﺼﺐ ﺍﻟﻴﻤﻨﻰ ، ﻭﺇﺫﺍ ﺟﻠﺲ ﻓﻰ ﺍﻟﺮﻛﻌﺔ ﺍﻵﺧﺮﺓ ﻗﺪﻡ ﺭﺟﻠﻪ ﺍﻟﻴﺴﺮﻯ ﻭﻧﺼﺐ ﺍﻷﺧﺮﻯ ﻭﻗﻌﺪ ﻋﻠﻰ ﻣﻘﻌﺪﺗﻪ . “Aku adalah orang yang paling menghafal di antara kalian tentang shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku melihatnya tatkala bertakbir, beliau menjadikan kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya. Jika ruku’, beliau menetapkan kedua tangannya pada kedua lututnya, lalu meluruskan punggungnya. Jika mengangkat kepalanya, beliau berdiri tegak hingga kembali setiap dari tulang belakangnya ke tempatnya. Jika sujud, beliau meletakkan kedua tangannya tanpa menidurkan kedua lengannya dan tidak pula melekatkannya (pada lambungnya) dan menghadapkan jari-jari kakinya ke arah kiblat. Jika beliau duduk pada raka’at kedua, maka beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirosy). Jika duduk pada raka’at terakhir, beliau mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki yang lain (kaki kanan), dan duduk di atas lantai - bukan di atas kaki kiri- (duduk tawarruk) .”[9] Mengenai maksud “Jika duduk pada raka’at terakhir ...”, Al Hafizh Ibnu Hajar berkata, ”Dan dalam riwayat Abdul Hamid terdapat lafazh, ﺣﺘﻰ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟﺴﺠﺪﺓ ﺍﻟﺘﻲ ﻳﻜﻮﻥ ﻓﻴﻬﺎ ﺍﻟﺘﺴﻠﻴﻢ. “Sampai jika pada raka’at yang terdapat padanya salam”. Dan dalam riwayat Ibnu Hibban, ﺍﻟﺘﻲ ﺗﻜﻮﻥ ﺧﺎﺗﻤﺔ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺃﺧﺮﺝ ﺭﺟﻠﻪ ﺍﻟﻴﺴﺮﻯ ﻭﻗﻌﺪ ﻣﺘﻮﺭﻛﺎ ﻋﻠﻰ ﺷﻘﻪ ﺍﻷﻳﺴﺮ . “(Pada raka’at) yang menjadi penutup shalat, maka beliau duduk tawarruk dengan mengeluarkan kaki kiri dan duduk di atas sisi kirinya .” Ditambah oleh Ibnu Ishaq dalam riwayatnya, ﺛﻢ ﺳﻠﻢ ”Lalu beliau mengucapkan salam”. Dan dalam riwayat ‘Isa dalam riwayat Ath Thahawi, ﻓﻠﻤﺎ ﺳﻠﻢ ﺳﻠﻢ ﻋﻦ ﻳﻤﻴﻨﻪ ﺳﻠﺎﻡ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻭﺭﺣﻤﺔ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻋﻦ ﺷﻤﺎﻟﻪ ﻛﺬﻟﻚ ”Tatkala mengucapkan salam, maka beliau salam ke sebelah kanannya “salaamun ‘alaikum warahmatullah, dan ke sebelah kirinya pun seperti itu juga ”. Dan dalam riwayat Abu ‘Ashim dari ‘Abdul Hamid dalam riwayat Abu Daud dan selainnya, mereka berkata -yaitu para shahabat yang disebutkan-, ﺻﺪﻗﺖ ، ﻫﻜﺬﺍ ﻛﺎﻥ ﻳﺼﻠﻲ “Engkau telah benar, memang demikian beliau shalat.” Dalam riwayat Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa (192), terdapat lafazh, ﺣﺘﻰ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟﻘﻌﺪﺓ ﺍﻟﺘﻲ ﻓﻴﻬﺎ ﺍﻟﺘﺴﻠﻴﻢ ﺃﺧﺮﺝ ﺭﺟﻠﻪ ﺍﻟﻴﺴﺮﻯ ﻭﺟﻠﺲ ﻣﺘﻮﺭﻛﺎ ﻋﻠﻰ ﺷﻘﻪ ﺍﻷﻳﺴﺮ . “Sehingga pada duduk yang terdapat salam (duduk tasyahud akhir), beliau menggeser kaki kirinya dan duduk dan beliau duduk tawarruk di atas sisi kirinya.” Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya (1/297), dan Ahmad (5/424), terdapat lafazh, ﺣﺘﻰ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟﺮﻛﻌﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺗﻨﻘﻀﻲ ﻓﻴﻬﺎ ﺍﻟﺼﻼﺓ. “Sehingga pada raka’at yang diselesaikannya shalat padanya (raka’at terakhir)”. Dalam riwayat An Nasaai (1262), terdapat lafazh, ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﺮﻛﻌﺘﻴﻦ ﺍﻟﻠﺘﻴﻦ ﺗﻨﻘﻀﻲ ﻓﻴﻬﻤﺎ ﺍﻟﺼﻠﺎﺓ ﺃﺧﺮ ﺭﺟﻠﻪ ﺍﻟﻴﺴﺮﻯ ﻭﻗﻌﺪ ﻋﻠﻰ ﺷﻘﻪ ﻣﺘﻮﺭﻛﺎ ﺛﻢ ﺳﻠﻢ “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk pada shalat dua raka’at yang diakhiri dengan salam, beliau mengeluarkan kaki kirinya dan beliau duduk tawarruk di sisi kiri. ” Pendapat kelima, pendapat Ibnu Jarir Ath Thobari. Beliau berpendapat duduk tasyahud dengan tawarruk maupun iftirosy, semuanya dibolehkan. Alasannya karena semuanya diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi boleh memilih dengan dua cara duduk tersebut. Terserah mau melakukan yang mana. Ibnu ‘Abdil Barr sendiri lebih cenderung pada pendapat yang satu ini.[2] Menguatkan Pendapat Pendapat pertama dan kedua memiliki kelemahan karena berpegang pada satu macam dalil dan meninggalkan yang lainnya. Kedua pendapat ini disanggah oleh Ibnu Hazm rahimahullah, ﻋﻠﻲ ﻭﻛﻼ ﺍﻟﻘﻮﻟﻴﻦ ﺧﻄﺄ ﻭﺧﻼﻑ ﻟﻠﺴﻨﺔ ﺍﻟﺜﺎﺑﺘﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺃﻭﺭﺩﻧﺎ “Dan kedua pendapat tersebut kurang tepat dan menyelisihi ajaran (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang telah kami sebutkan .”[10] Ditambah lagi kedua pendapat tersebut menyelisihi hadits Abu Humaid yang membedakan tata cara duduk tasyahud awwal dan akhir. Lihat saja dalam hadits Abu Humaid jelas-jelas terbedakan, ﻓﺈﺫﺍ ﺟﻠﺲ ﻓﻰ ﺍﻟﺮﻛﻌﺘﻴﻦ ﺟﻠﺲ ﻋﻠﻰ ﺭﺟﻠﻪ ﺍﻟﻴﺴﺮﻯ ﻭﻧﺼﺐ ﺍﻟﻴﻤﻨﻰ ، ﻭﺇﺫﺍ ﺟﻠﺲ ﻓﻰ ﺍﻟﺮﻛﻌﺔ ﺍﻵﺧﺮﺓ ﻗﺪﻡ ﺭﺟﻠﻪ ﺍﻟﻴﺴﺮﻯ ﻭﻧﺼﺐ ﺍﻷﺧﺮﻯ ﻭﻗﻌﺪ ﻋﻠﻰ ﻣﻘﻌﺪﺗﻪ . “Jika beliau duduk pada raka’at kedua, maka beliau duduk diatas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirosy). Jika duduk pada raka’at terakhir, beliau mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki yang lain (kaki kanan), dan duduk di atas lantai - bukan di atas kaki kiri- (duduk tawarruk) .” Bagaimana dengan Pendapat Imam Ahmad dan Imam Asy Syafi’i? Abu Humaid membedakan antara duduk di akhir shalat dengan duduk yang bukan di akhir shalat. Tatkala beliau menjelaskan tentang duduk yang bukan akhir shalat, beliau menyebutnya dengan lafazh “ Jika beliau duduk pada raka’at kedua, maka beliau duduk diatas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirosy) ”. Dari lafazh ini menunjukkan bahwa duduk iftirosy dilakukan di pertengahan shalat dan bukan akhir shalat. Lafadz “dua raka’at” bukanlah maksud dari riwayat ini, namun maksudnya adalah “ raka’at yang bukan akhir shalat”. Alasannya adalah sebagai berikut: Pertama: Lafazh setelahnya “Jika duduk pada raka’at terakhir” menunjukkan bahwa lafazh sebelumnya bermakna “yang bukan raka’at terakhir”. Kedua: Mengambil pemahaman dari hadits bahwa yang dimaksud setiap yang shalatnya hanya ada sekali tasyahud, adalah duduk iftirosy, ini termasuk pemahaman yang lemah. Karena ini berarti berpegang pada mafhum ‘adad (penarikan kesimpulan dari suatu bilangan). Dalil semacam ini dinilai lemah oleh sebagian ulama. Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan, ﻭﺍﻟﺘﺤﻘﻴﻖ ﺃﻥ ﺩﻻﻟﺔ ﻣﻔﻬﻮﻡ ﺍﻟﻌﺪﺩ ﻟﻴﺴﺖ ﻳﻘﻴﻨﻴﺔ ﺇﻧﻤﺎ ﻫﻲ ﻣﺤﺘﻤﻠﺔ “Yang tepat, pemahaman mafhum al-‘adad tidaklah yakin, namun hanya bersifat kemungkinan”.[11] Jika kita telah memahami hal ini, maka penyebutan “dua raka’at” yang disebutkan dalam hadits bukanlah maksud, namun maknanya adalah “ duduk yang bukan raka’at terakhir”. Hal ini semakin dikuatkan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ﻓﺈﺫﺍ ﺟﻠﺴﺖ ﻓﻲ ﻭﺳﻂ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻓﺎﻃﻤﺌﻦ ﻭﺍﻓﺘﺮﺵ ﻓﺨﺬﻙ ﺍﻟﻴﺴﺮﻯ ﺛﻢ ﺗﺸﻬﺪ “Jika engkau duduk di pertengahan shalat, maka lakukanlah dengan thuma’ninah, duduklah iftirosy dengan menghamparkan paha kirimu -agar engkau duduk diatasnya-, lalu lakukanlah tasyahhud ”[12] Hadits berikut juga mendukung pendapat Imam Asy Syafi’i, ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﺮﻛﻌﺘﻴﻦ ﺍﻟﻠﺘﻴﻦ ﺗﻨﻘﻀﻲ ﻓﻴﻬﻤﺎ ﺍﻟﺼﻠﺎﺓ ﺃﺧﺮ ﺭﺟﻠﻪ ﺍﻟﻴﺴﺮﻯ ﻭﻗﻌﺪ ﻋﻠﻰ ﺷﻘﻪ ﻣﺘﻮﺭﻛﺎ ﺛﻢ ﺳﻠﻢ “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk pada shalat dua raka’at yang diakhiri dengan salam, beliau mengeluarkan kaki kirinya dan beliau duduk tawarruk di sisi kiri. ”[13] Di sini secara gamblang dikatakan bahwa beliau duduk tawarruk pada tasyahud akhir shalat dua raka’at (artinya, hanya ada sekali tasyahud). Adapun hadits ‘Aisyah, Wail bin Hujr dan Abdullah bin Zubair, yang menjelaskan tentang duduk iftirosy, di situ tidak disebutkan secara terperinci apakah duduk tersebut dilakukan pada pertengahan ataukah pada akhir shalat, yang menunjukkan bahwa hadits tersebut global dan tidak tafshil (terperinci). Jika kita beramal berdasarkan keumuman duduk iftirosy dalam hadits tersebut, lalu bagaimana dengan keumuman hadits ‘Abdullah bin ‘Umar yang menyebutkan duduk tawarruk dalam shalat dan tidak merinci apakah duduk dipertengahan shalat ataukah di akhir shalat?! Jika ada yang berkata, “Hadits Wail bin Hujr dan yang semisalnya menyebutkan cara duduk pada shalat dua raka’at, yang menunjukkan keumuman setiap shalat dua raka’at.” Kami sanggah, “Hadits Ibnu ‘Umar lebih umum lagi, di mana Ibnu ‘Umar mengatakan “ sesungguhnya sunnahnya shalat (ketika duduk)” dan beliau tidak menyebutkan raka’at ke berapa, dan shalatnya berapa raka’at. Jika Anda beramal dengan keumuman hadits Wail dan yang semisalnya, maka amalkan pula hadits ‘Abdullah bin ‘Umar secara umum, dengan duduk tawarruk pada setiap duduk ketika shalat.” Demikian pula, kita mengetahui bahwa shalat yang memiliki satu tasyahud bukan hanya shalat yang berjumlah dua raka’at, namun di sana ada shalat yang berjumlah satu raka’at saja, seperti shalat witir, ada pula shalat tiga rakaat dengan satu tasyahhud, empat raka’at dengan satu tasyahhud, lima raka’at dengan satu tasyahhud, tujuh raka’at di mana beliau duduk tasyahhud pada raka’at keenam dan tidak salam, lalu bangkit menuju raka’at yang ketujuh lalu salam, sembilan raka’at dan beliau duduk diraka’at yang kedelapan dan tidak salam, lalu melanjutkan ke raka’at yang kesembilan lalu salam. Nah, bagaimana Anda menyikapi shalat tersebut? Sementara shalat tersebut hanya menyebutkan shalat yang “dua raka’at”. Namun jika kita memahaminya sebagaimana yang dipahami oleh Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, maka setiap permasalahan tentang tata cara duduk tersebut dapat dipahami dengan baik berdasarkan hadits-hadits yang datang menjelasakan tentang permasalahan ini. Kesimpulan Hadits Abu Humaid radhiyallahu ‘anhu adalah hadits yang menjelaskan tentang tata cara shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada seluruh shalat, apakah itu shalat yang memiliki satu tasyahhud, maupun yang memiliki dua tasyahhud. Jika duduk dilakukan di pertengahan shalat, maka yang dilakukan adalah duduk iftirosy, dan jika duduk dilakukan pada akhir shalat, maka yang dilakukan adalah duduk tawarruk . Sedangkan selain hadits Abu Humaid merupakan hadits yang bersifat umum (belum terperinci). Maka hadits yang bersifat global tersebut semestinya dibawa kepada hadits Abu Humaid yang merinci dan menjelaskan. Sebagaimana kaedah ini sudah diketahui bersama dalam kaedah ushul. Wallahul muwaffiq. Dari kesimpulan ini juga menunjukkan lemahnya pendapat kelima yang mengatakan bolehnya memilih duduk mana saja yang diinginkan. Pendukung dari Pendapat Ulama Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, ﻭﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺣﺠﺔ ﻗﻮﻳﺔ ﻟﻠﺸﺎﻓﻌﻲ ﻭﻣﻦ ﻗﺎﻝ ﺑﻘﻮﻟﻪ ﻓﻲ ﺃﻥ ﻫﻴﺌﺔ ﺍﻟﺠﻠﻮﺱ ﻓﻲ ﺍﻟﺘﺸﻬﺪ ﺍﻟﺄﻭﻝ ﻣﻐﺎﻳﺮﺓ ﻟﻬﻴﺌﺔ ﺍﻟﺠﻠﻮﺱ ﻓﻲ ﺍﻟﺄﺧﻴﺮ ، ﻭﺧﺎﻟﻒ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻤﺎﻟﻜﻴﺔ ﻭﺍﻟﺤﻨﻔﻴﺔ ﻓﻘﺎﻟﻮﺍ : ﻳﺴﻮﻱ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ، ﻟﻜﻦ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻤﺎﻟﻜﻴﺔ : ﻳﺘﻮﺭﻙ ﻓﻴﻬﻤﺎ ﻛﻤﺎ ﺟﺎﺀ ﻓﻲ ﺍﻟﺘﺸﻬﺪ ﺍﻟﺄﺧﻴﺮ ، ﻭﻋﻜﺴﻪ ﺍﻟﺂﺧﺮﻭﻥ . ﻭﻗﺪ ﻗﻴﻞ ﻓﻲ ﺣﻜﻤﺔ ﺍﻟﻤﻐﺎﻳﺮﺓ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﺃﻧﻪ ﺃﻗﺮﺏ ﺇﻟﻰ ﻋﺪﻡ ﺍﺷﺘﺒﺎﻩ ﻋﺪﺩ ﺍﻟﺮﻛﻌﺎﺕ ، ﻭﻟﺄﻥ ﺍﻟﺄﻭﻝ ﺗﻌﻘﺒﻪ ﺣﺮﻛﺔ ﺑﺨﻠﺎﻑ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ، ﻭﻟﺄﻥ ﺍﻟﻤﺴﺒﻮﻕ ﺇﺫﺍ ﺭﺁﻩ ﻋﻠﻢ ﻗﺪﺭ ﻣﺎ ﺳﺒﻖ ﺑﻪ ، ﻭﺍﺳﺘﺪﻝ ﺑﻪ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﺃﻳﻀﺎ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺗﺸﻬﺪ ﺍﻟﺼﺒﺢ ﻛﺎﻟﺘﺸﻬﺪ ﺍﻟﺄﺧﻴﺮ ﻣﻦ ﻏﻴﺮﻩ ﻟﻌﻤﻮﻡ ﻗﻮﻟﻪ " ﻓﻲ ﺍﻟﺮﻛﻌﺔ ﺍﻟﺄﺧﻴﺮﺓ " ، ﻭﺍﺧﺘﻠﻒ ﻓﻴﻪ ﻗﻮﻝ ﺃﺣﻤﺪ ، ﻭﺍﻟﻤﺸﻬﻮﺭ ﻋﻨﻪ ﺍﺧﺘﺼﺎﺹ ﺍﻟﺘﻮﺭﻙ ﺑﺎﻟﺼﻠﺎﺓ ﺍﻟﺘﻲ ﻓﻴﻬﺎ ﺗﺸﻬﺪﺍﻥ “Hadits ini merupakan argumen yang kuat bagi Imam Asy Syafi’i dan yang sependapat dengannya bahwa keadaan duduk pada tasyahud awwal berbeda dengan duduk pada tasyahud terakhir. Ulama Malikiyyah dan Hanafiyyah menyelisihi hal tersebut dan berpendapat bahwa duduk tasyahud awwal dan akhir itu sama. Ulama Malikiyyah berpendapat, duduk tasyahud awwal dan akhir itu sama-sama tawarruk. Sedangkan ulama Hanafiyyah berpendapat sebaliknya, keduanya sama-sama duduk iftirosy. Ada yang berpendapat bahwa mengapa berbeda antara tasyahud awwal dan akhir karena hikmahnya adalah supaya bisa membedakan jumlah raka’at. Tasyahud awwal masih ada gerakan setelah itu, sedangkan tasyahud akhir tidak demikian. Begitu pula jika ada makmum masbuq (yang telat datang), maka ia dapat mengetahui berapa raka’at yang telah dilakukan (oleh jama’ah). Imam Asy Syafi’i juga beralasan bahwa duduk tasyahud ketika shalat Shubuh sama dengan keadaan tasyahud akhir untuk shalat lainnya karena dalilnya umum yaitu disebutkan dalam hadits, ﻓﻲ ﺍﻟﺮﻛﻌﺔ ﺍﻟﺄﺧﻴﺮﺓ “Di raka’at terakhir.” Imam Ahmad sendiri memiliki pendapat yang berbeda-beda. Namun yang masyhur dari beliau, dikhususkan duduk tawarruk ketika tasyahud akhir pada shalat yang memiliki dua kali tasyahud.”[14] Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullah berkata, ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻭﺍﻻﺻﺤﺎﺏ ﻓﺤﺪﻳﺚ ﺍﺑﻰ ﺣﻤﻴﺪ ﻭﺍﺻﺤﺎﺑﻪ ﺻﺮﻳﺢ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺮﻕ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺘﺸﻬﺪﻳﻦ ﻭﺑﺎﻗﻰ ﺍﻻﺣﺎﺩﻳﺚ ﻣﻄﻠﻘﺔ ﻓﻴﺠﺐ ﺣﻤﻠﻬﺎ ﻋﻠﻲ ﻣﻮﺍﻓﻘﺘﻪ ﻓﻤﻦ ﺭﻭﻯ ﺍﻟﺘﻮﺭﻙ ﺍﺭﺍﺩ ﺍﻟﺠﻠﻮﺱ ﻓﻲ ﺍﻟﺘﺸﻬﺪ ﺍﻻﺧﻴﺮ ﻭﻣﻦ ﺭﻭﻯ ﺍﻻﻓﺘﺮﺍﺵ ﺍﺭﺍﺩ ﺍﻻﻭﻝ ﻭﻫﺬﺍ ﻣﺘﻌﻴﻦ ﻟﻠﺠﻤﻊ ﺑﻴﻦ ﺍﻻﺣﺎﺩﻳﺚ ﺍﻟﺼﺤﻴﺤﺔ ﻻ ﺳﻴﻤﺎ ﻭﺣﺪﻳﺚ ﺃﺑﻰ ﺣﻤﻴﺪ ﻭﺍﻓﻘﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻋﺸﺮﺓ ﻣﻦ ﻛﺒﺎﺭ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻢ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ Imam Asy Syafi’i dan pengikutnya berkata, “Hadits Abu Humaid dan para sahabatnya secata tegas membedakan antara duduk tasyahhud awwal dan akhir. Sedangkan hadits-hadits yang lainnya adalah hadits yang sifatnya mutlak. Sehingga wajib untuk dipahami dengan hadits yang cocok dengannya. Hadits yang meriwayatkan duduk tawarruk, yang dimaksud adalah duduk pada tasyahud akhir. Sedangkan hadits yang meriwayatkan duduk iftirosy, yang dimaksud adalah tasyahud awwal. Inilah cara yang tepat dilakukan untuk menggabungkan hadits- hadits yang shahih. Terlebih lagi hadits Abu Humaid telah disetujui oleh sepuluh orang dari para pembesar sahabat radhiyallahu anhum. Wallahu a’lam.”[15] Al Mubarakfuri rahimahullah berkata, ﻭﺍﻟﺈﻧﺼﺎﻑ ﺃﻧﻪ ﻟﻢ ﻳﻮﺟﺪ ﺣﺪﻳﺚ ﻳﺪﻝ ﺻﺮﻳﺤﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﺳﺘﻨﺎﻥ ﺍﻟﺠﻠﻮﺱ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺍﻟﻴﺴﺮﻯ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﻌﺪﺓ ﺍﻟﺄﺧﻴﺮﺓ ، ﻭﺣﺪﻳﺚ ﺃﺑﻲ ﺣﻤﻴﺪ ﻣﻔﺼﻞ ﻓﻠﻴﺤﻤﻞ ﺍﻟﻤﺒﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﻔﺼﻞ ﺍﻧﺘﻬﻰ . “Pendapat yang lebih tepat, tidak didapatkan satu pun hadits yang menunjukkan secara gamblang tentang disunnahkannya duduk di atas kaki kiri (duduk iftirasy) pada duduk tasyahud terakhir. Hadits Abu Humaid jelas sudah terperinci. Sehingga hadits yang bersifat global dibawa maknanya kepada yang terperinci.”[16] Abuth Thoyyib rahimahullah berkata, ﻭﻓﻲ ﺣﺪﻳﺚ ﺃﺑﻲ ﺣﻤﻴﺪ ﺣﺠﺔ ﻗﻮﻳﺔ ﺻﺮﻳﺤﺔ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺍﻟﻤﺴﻨﻮﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﺠﻠﻮﺱ ﻓﻲ ﺍﻟﺘﺸﻬﺪ ﺍﻟﺄﻭﻝ ﺍﻟﺎﻓﺘﺮﺍﺵ ﻭﻓﻲ ﺍﻟﺠﻠﻮﺱ ﻓﻲ ﺍﻟﺄﺧﻴﺮ ﺍﻟﺘﻮﺭﻙ ﻭﻫﻮ ﻣﺬﻫﺐ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺤﻖ ﻋﻨﺪﻱ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺃﻋﻠﻢ . “Di dalam hadits Abu Humaid, hadits tersebut merupakan argumen yang amat kuat dan tegas bahwa yang disunnahkan pada duduk tasyahud awwal adalah iftirosy dan duduk tasyahhud akhir adalah tawarruk. Inilah pendapat Imam Asy Syafi’i. Inilah yang menurutku lebih tepat. Wallahu Ta’ala a’lam. ”[17] Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan: ﻭﺍﻟﺘﻔﺼﻴﻞ ﺍﻟﺬﻱ ﺫﻫﺐ ﺇﻟﻴﻪ ﺃﺣﻤﺪ ﻳﺮﺩﻩ ﻗﻮﻝ ﺃﺑﻲ ﺣﻤﻴﺪ ﻓﻲ ﺣﺪﻳﺜﻪ ﺍﻟﺂﺗﻲ } ﻓﺈﺫﺍ ﺟﻠﺲ ﻓﻲ ﺍﻟﺮﻛﻌﺔ ﺍﻟﺄﺧﻴﺮﺓ . { ﻭﻓﻲ ﺭﻭﺍﻳﺔ ﻟﺄﺑﻲ ﺩﺍﻭﺩ ﺣﺘﻰ }ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟﺴﺠﺪﺓ ﺍﻟﺘﻲ ﻓﻴﻬﺎ ﺍﻟﺘﺴﻠﻴﻢ } “Pendapat yang dirinci oleh Imam Ahmad tertolak sendirinya dengan ucapan Abu Humaid dalam haditsnya “jika duduk pada raka’at terakhir”, dan pada riwayat Abu Dawud “hingga pada raka’at yang padanya terdapat salam”.[18] Pendapat Imam Asy Syafi’i ini dikuatkan pula oleh Ibnu Hazm rahimahullah. Ibnu Hazm rahimahullah berkata, ﻓﻔﻲ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺃﺭﺑﻊ ﺟﻠﺴﺎﺕ : ﺟﻠﺴﺔ ﺑﻴﻦ ﻛﻞ ﺳﺠﺪﺗﻴﻦ, ﻭﺟﻠﺴﺔ ﺇﺛﺮ ﺍﻟﺴﺠﺪﺓ ﺍﻟﺜﺎﻧﻴﺔ ﻣﻦ ﻛﻞ ﺭﻛﻌﺔ, ﻭﺟﻠﺴﺔ ﻟﻠﺘﺸﻬﺪ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺮﻛﻌﺔ ﺍﻟﺜﺎﻧﻴﺔ, ﻳﻘﻮﻡ ﻣﻨﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺜﺎﻟﺜﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻐﺮﺏ, ﻭﺍﻟﺤﺎﺿﺮ ﻓﻲ ﺍﻟﻈﻬﺮ ﻭﺍﻟﻌﺼﺮ ﻭﺍﻟﻌﺸﺎﺀ ﺍﻵﺧﺮﺓ, ﻭﺟﻠﺴﺔ ﻟﻠﺘﺸﻬﺪ ﻓﻲ ﺁﺧﺮ ﻛﻞ ﺻﻼﺓ, ﻳﺴﻠﻢ ﻓﻲ ﺁﺧﺮﻫﺎ. ﻭﺻﻔﺔ ﺟﻤﻴﻊ ﺍﻟﺠﻠﻮﺱ ﺍﻟﻤﺬﻛﻮﺭ ﺃﻥ ﻳﺠﻌﻞ ﺃﻟﻴﺘﻪ ﺍﻟﻴﺴﺮﻯ ﻋﻠﻰ ﺑﺎﻃﻦ ﻗﺪﻣﻪ ﺍﻟﻴﺴﺮﻯ ﻣﻔﺘﺮﺷﺎ ﻟﻘﺪﻣﻪ, ﻭﻳﻨﺼﺐ ﻗﺪﻣﻪ ﺍﻟﻴﻤﻨﻰ ,ﺭﺍﻓﻌﺎ ﻟﻌﻘﺒﻬﺎ,ﻣﺠﻠﺴﺎ ﻟﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﺑﺎﻃﻦ ﺃﺻﺎﺑﻌﻬﺎ, ﺇﻻ ﺍﻟﺠﻠﻮﺱ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻠﻲ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻣﻦ ﻛﻞ ﺻﻼﺓ, ﻓﺈﻥ ﺻﻔﺘﻪ ﺃﻥ ﻳﻔﻀﻲ ﺑﻤﻘﺎﻋﺪﻩ ﺇﻟﻰ ﻣﺎ ﻫﻮ ﺟﺎﻟﺲ ﻋﻠﻴﻪ, ﻭﻻ ﻳﺠﻠﺲ ﻋﻠﻰ ﺑﺎﻃﻦ ﻗﺪﻣﻪ ﻓﻘﻂ “Di dalam shalat ada empat keadaan duduk, yaitu duduk di antara dua sujud, duduk setelah sujud kedua dari setiap raka’at (duduk istirahat, pen), duduk tasyahud setelah raka’at kedua (bangkit menuju raka’at ketiga pada shalat maghrib, dan shalat muqim [orang yang menetap, tidak bersafar] pada shalat Zhuhur, Ashar dan Isya), dan duduk untuk tasyahud pada akhir setiap shalat yang dia mengucapkan salam pada akhirnya. Tata cara semua duduk yang disebutkan adalah dengan menjadikan bokong kirinya berada di atas telapak kaki kirinya dengan menidurkan kakinya tersebut, menegakkan kaki kanan, mengangkat tumitnya mendudukkannya diatas bagian dalam jari jemari (kakinya) tersebut (maksudnya, melakukan duduk iftirasy, pen). Kecuali untuk duduk yang diikuti dengan salam dari setiap shalat (duduk tasyahud akhir), maka caranya adalah dengan duduk di lantai, dan bukan duduk di atas telapak kaki kirinya (maksudnya, melakukan duduk tawarruk, pen).”[19] Penutup Pembahasan ini menunjukkan bahwa pendapat terkuat adalah yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i. Ketika tasyahud awal, duduknya adalah iftirosy. Ketika tasyahud akhir –baik yang dengan sekali atau dua kali tasyahud- adalah dengan duduk tawarruk. Demikian pendapat terkuat dari hasil penelitian kami terhadap dalil-dalil yang ada.[20] Semoga pembahasan ini semakin memberikan pencerahan pada kaum muslimin. Sekali lagi ini adalah masalah khilafiyahyang masih bisa kita saling toleransi. Sehingga tidak tepat menjadikan masalah ini sebagai masalah manhajiyah, yang jadi barometer seseorang ahlus sunnah ataukah bukan. Hanya Allah yang beri taufik. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Diselesaikan di malam hari, 10 Syawal 1431 H (18/09/2010) di Panggang-GK Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com [1] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik, Al Maktabah At Taufiqiyah, 1/347. [2] Lihat Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd Al Maliki, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan ketiga, 1428 H, hal. 129; Fathul Bari, Ibnu Rajab Al Hambali, Asy Syamilah, 6/69-70. [3] HR. Bukhari no. 827. [4] HR. Ahmad 1/459. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih, namun sanad riwayat ini hasan. Namun sebagian ulama melemahkan hadits ini. [5] HR. Muslim no. 498. [6] HR. Ibnu Khuzaimah 1/343. Al A’zhomi mengatakan bahwa sanad riwayat ini shahih. [7] HR. Tirmidzi no. 292. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih. [8] HR. Ibnu Hibban 5/270. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad riwayat ini qowi (kuat) [9] HR. Bukhari no. 828. [10] Al Muhalla, Ibnu Hazm, Mawqi’ Ya’sub, 4/127. [11] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, 1379, 3/122 [12] HR. Abu Daud no. 860. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. [13] HR. An Nasai no. 1262. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. [14] Fathul Bari, 2/309. [15] Al Majmu’, Yahya bin Syarf An Nawawi, Mawqi’ Ya’sub, 3/451. [16] Tuhfatul Ahwadzi, Abul ‘Ala Al Mubarakfuri, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, 2/156. [17] ‘Aunul Ma’bud, Aabadi Abuth Thoyyib, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan kedua, 1415, 3/171. [18] Nailul Author, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, Mawqi’ Al Islam, 4/15. [19] Al Muhalla, 4/125. [20] Tulisan ini banyak terinspirasi dari tulisan Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal –semoga Allah selalu memberkahi beliau dalam kebaikan- pada link http:// kuliahsyariah.multiply.com/journal/item/197. Ditulis ulang dari: http://rumaysho.com/hukum- islam/shalat/3191-cara-duduk-tasyahud-iftirosy-atau- tawarruk.html
"TENTANG DUDUK TASYHUD" "TENTANG DUDUK TASYHUD" Reviewed by Abu Aslam on 9:09 AM Rating: 5

No comments